Patologi Birokrasi

Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal.[[1]]

Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi adalah “hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah”.[[2]] Patologi birokrasi muncul dikarenakan hubungan antar variabel  pada struktur birokrasi yang terlalu berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan kinerja birokrasi yang tidak linear.

Adapun macam-macam patologi birokrasi antara lain:

  1. Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang telah dilakukan atasan. Hal tersebut menjadikan pelayanan publik kurang maksimal dikarenakan sikap bawahan yang terlalu berlebihan terhadap atasan sehingga birokrasi cenderung mengabaikan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima layanan sebaik mungkin;
  2. Pembengkakan  anggaran, terdapat beberapa alasan mengapa hal ini sering terjadi yaitu: semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan semakin besar pula peluang untuk memark-up anggaran, tidak adanya kejelasan antara biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas dasar input. Pembengkakan anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan civil society lemah dalam mengontrol pemerintah;
  3. Prosedur yang berlebihan akan mengakibatkan pelayanan menjadi berbelit-belit dan kurang menguntungkan bagi masyarakat ketika dalam keadaan mendesak;
  4. Pembengkakan birokrasi, dapat dilakukan dengan menambah jumlah struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain-lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya. Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan Negara. Sehingga anggaran menjadi kurang tepat sasaran; dan
  5. Fragmentasi birokrasi, banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespon kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada motif tertentu.[[3]]

Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1994) menyebut serangkaian contoh penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut dapat dikategorikan dalam lima macam :

  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya menejerial para pejabat dilingkungan birokrasi (birokrat). Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
  2. Patologi yang timbul karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan ketrampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
  3. Patologi yang timbul karena karena tindakan para anggota birokrasi melanggar norma hukum dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi di lingkungan pemerintah. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif.[[4]]

Adapun ruang lingkup patologi birokrasi itu sendiri bila menggunakan terminologi Smith berkenaan dengan kinerja birokrasi yang buruk, dapat dipetakan dalam dua konsep besar yakni :

  1. Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek, sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.
  2. Mal administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat disogok, meliputi :perilaku korup, tidak sensitive, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam birokrasi.[[5]]

Pemecahan Masalah Patologi Birokrasi

Menilik  banyaknya penyakit yang melekat pada birokrasi, maka dari itu diperlukan adanya suatu penanggulangan untuk memperbaiki birokrasi agar lebih baik, cepat tanggap dan mampu merespon apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam rangka mengatasi birokrasi atau bahasa lainnya menyembuhkan penyakit-penyakit kronis yang melekat pada birokrasi yaitu, mengembangkan kebijakan pembangunan birokrasi yang holistis (menyeluruh) agar mampu menyentuh semua dimensi baik itu sistem, struktur, budaya, dan perilaku birokrasi; mengembangkan sistem politik yang demokratis dan mampu mengontrol jalannya pemerintahan dengan maksud agar pemerintah lebih transparan, tanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan dan masyarakat dengan mudah mengakses informasi publik; mengembangkan birokrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi seperti, e-government, e-procurement untuk mempermudah interaksi antara masyarakat dengan para pemberi layanan[[6]].Akan tetapi sistem berbasis teknologi tersebut tetap perlu dimonitoring dan dikawal terkait dengan pengimplementasiannya guna meminimalisir terjadinya kecurangan yang dilakukan birokrasi.

Berikut alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi dalam membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, dan akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut :

  1. Dalam hubungan dengan berpola patron klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif. Perlu membuat peraturan Undang – Undang pelayanan publik yang memihak pada rakyat.
  2. Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit, perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik.
  3. Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e Goverment agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling kontrol.
  4. Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik.
  5. Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa berfungsi ingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima. Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.
  6. Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi dan pengalaman, skill atau ketrampilan, yang didukung oleh sikap (attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah patologi atau penyakit birokrasi yang berhubungan dengan pelayanan publik. Untuk itu pelatihan diharapkan mampu menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur memeliki kecerdasan inteltual, emosional dan spiritual sebagai landasan dalam pelayanan publik.

Pengembangan sumber daya aparatur bukanlah satu – satunya cara untuk keluar dari kemelut birokrasi. Tetapi sebagai sebuah usaha tentu ada hasilnya, keseluruhan pembinaan kualitas birokrasi atau aparatur pemerintah setidaknya ada setitik pencerahan, namun harus tetap ditingkatkan secara terus menerus agar dapat diciptakan sosok birokrasi atau aparatur yang profesional dan berkarakter. Dengan usaha – usaha yang seperti telas disampaikan pada pembahasan diatas diharapkan dapat mewujudkan Good Governance. Meningkatkan profesionalisme birokrasi melalui perubahan paradigma, perilaku dan orientasi pelayanan kepada publik.[[7]]

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

 

Sondang P. Siagian.1994.  Patologi Birokrasi  Analisis Identifikasi dan Terapinya. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

 

Referensi:

Ali Andrias, S.IP., M.Si. 2012. Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik .

http://king-andrias.blogspot.com/2012/04/materi-kuliah-patologi-birokrasi-dan.html. Diakses 23 februari 2013.

 

Novianti, piping. 2011. Patologi Birokrasi di Indonesia.

http://pipingnoviati.wordpress.com/2011/12/22/patologi-birokrasi-di-indonesia-2/. Diakses 23 februari 2013.


[1] Hand Out Kuliah Manajemen Pelayanan Publik.

[2] Agus Dwiyanto. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama. Hal 63.

[3] Id. at 65-118.

 

[4] Sondang P. Siagian.1994.  Patologi Birokrasi  Analisis Identifikasi dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hal. 35-81.

[5] Ali Andrias, S.IP., M.Si. 2012. Patologi Birokrasi dan Pelayanan Publik .

http://king-andrias.blogspot.com/2012/04/materi-kuliah-patologi-birokrasi-dan.html. Diakses 23 februari 2013.

[6] Agus Dwiyanto. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama. Hal 118-128.

[7] Novianti, piping. 2011. Patologi Birokrasi di Indonesia.

http://pipingnoviati.wordpress.com/2011/12/22/patologi-birokrasi-di-indonesia-2/. Diakses 23 februari 2013.

 

  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar